Catatan Kecil dari Proyek Penyiraman Tanaman Otomatis

Pada semester 3, menjadi momen di mana aku mulai benar-benar “merasakan” dunia teknis di jurusanku. Setelah kami mendapatkan materi dan mengerjakan laporan praktik terkait dasar-dasar dari mata kuliah Komunikasi Data, dosen mulai mengumumkan terkait teknik pelaksanaan tugas akhir. Di mana setiap kelompok diharuskan membuat alat atau program yang sebelumnya telah diajarkan dimateri pada hari-hari perkuliahan. Setelah berdiskusi dan riset kecil-kecilan, kami pun memutuskan untuk membuat sesuatu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, yaitu sistem penyiraman tanaman otomatis.

Alat yang akan kami buat ini memang tergolong sederhana. Rencananya, alat ini bukan sekedar menyiram berdasarkan waktu, tapi sistem yang benar-benar memahami kondisi tanaman melalui sensor kelembaban tanah. Kami ingin membuat sebuah sistem yang dapat mengambil keputusan sendiri. Seperti kapan tanaman butuh air atau tidak, dan sistem yang bekerja dengan sendirinya.

Setelah melihat dan memahami video tutorial dari youtube, kami mulai mengeksekusi. Proyek ini kami bangun dengan menggunakan mikrokontroler ESP32 yang terhubung ke komputer. Untuk media tanam kami letakkan ke dalam plastik gelas dan juga sekalian kami pasang sensor kelembabannya. Nah, dari situ nantinya kadar air di tanah akan dibaca oleh alat. Proses kerjanya, jika tanah terdeteksi kering, maka sinyal dikirimkan ke relay kemudian mengaktifkan pompa kecil. Dari pompa tersebut akan mengambil air di wadah terpisah dan menyalurkannya ke media tanam. Begitu tanah mulai basah, sistem akan otomatis berhenti menyiram. Se-simple itu kelihatannya, namun bagi kami ini sesuatu yang butuh cukup struggle.

Kami mulai dengan menghubungkan mikrokontroler dengan serial monitor di laptop. Melalui layar itu, kami bisa memantau data yang masuk secara langsung—melihat angka-angka yang terus berubah sesuai dengan kondisi tanah. Di sanalah letak implementasi nyata dari komunikasi data yang kami pelajari di kelas. Ini bukan lagi sekadar teori tentang bit dan baud rate, tapi benar-benar terjadi di depan mata kami. Namun, sebuah komunikasi antara tanah, sensor, mikrokontroler, hingga akhirnya tampak di layar komputer.

Proses pengerjaannya tidak selalu mulus. Kadang sensor tidak konsisten, kadang air tidak mengalir karena pompa tidak cukup kuat, dan kadang kami bingung harus meletakkan kabel-kabel di mana agar tidak menyentuh air. Malahan di awal pengerjaan kami hampir stuck. Kenapa? Karena alat kami tidak berfungsi! Aku dan teman kelompok sudah cukup kewalahan mengecek berkali-kali bagian mana yang salah atau alat mana yang memang tidak berfungsi. Kami juga sempat meminta bantuan dalam teman lain saat mengerjakan itu. Alat sudah tersusun sempurna, namun belum berfungsi. Setelah waktu mulai larut malam kala itu, salah satu teman kelompokku membawanya pulang untuk dikoreksi lagi mana yang tidak benar.

Keesokan harinya saat di kelas, ajaib alat itu sudah berfungsi. Aku tanya, “kok jadi berfungsi alatnya? kamu apain?”. Jawabannya ternyata cukup lawak, dia membanting alatnya dan menyusunnya kembali. Syukurlah. Kami sekelompokpun terasa lega.

Kami sadar bahwa alat ini masih sangat sederhana. Tapi kami juga percaya, dari prototipe kecil ini bisa berkembang gagasan-gagasan yang lebih besar. Mungkin suatu hari nanti, sistem serupa bisa digunakan di pertanian urban, atau diterapkan di rumah-rumah yang ingin lebih hemat air dan waktu. Bahkan, bisa jadi ini menjadi awal dari langkah kami untuk lebih mendalami dunia Internet of Things (IoT) dan sistem otomatisasi.

Bagi kami, proyek ini adalah bukti bahwa teknologi tidak harus rumit untuk bisa berguna. Ia hanya perlu tepat guna dan hadir di saat yang benar-benar dibutuhkan. Dan siapa sangka, tugas kuliah yang awalnya hanya kewajiban, bisa menjadi pengalaman berharga yang membuka cakrawala baru tentang bagaimana komunikasi data bisa hidup di dunia nyata—melalui setetes air yang menyelamatkan satu tanaman kecil dari kekeringan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *